Riset dan jurnal yang dihasilkan Indonesia berada di peringkat paling bawah se-ASEAN. Peringkat Indonesia di bawah Vietnam dan Myanmar. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Prof. Suyatno, menilai, peran pemerintah harus nampak betul dalam meningkatkan mutu pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Sistem penjaminan mutu internal tidak bisa ditawar dan diperkuat dengan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
"Menjaga dosen berkualitas dan tumbuhkan budaya akademis di kampus, bukan budaya ngerumpi dan gosip. Selain itu juga perlu menumbuhkembangkan budaya riset," kata Suyatno dalam Aptisi Forum "Higher Education Stakeholder Dialogue", di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Kamis (8/1/2015).
Riset sendiri, kata Rektor Uhamka itu, menjadi dasar pengabdian masyarakat. Jika tidak ada riset, maka tidak ada budaya menulis, budaya membaca, dan budaya analitis. Hal inilah yang harus dikembangkan.
"Perkuat sarana proses pembelajaran, laboratorium atau bengkel, jangan hanya teori," imbuhnya.
Suyatno mengimbuhkan, kebanyakan riset yang dihasilkan perguruan tinggi adalah untuk kepentingan dokumen. Seharusnya Indonesia mengembangkan riset inovasi dan riset terapan.
"Misalnya, jika kurang listrik, maka lakukan riset tentang bagaimana menciptakan energi baru. Bidang lain yang juga dapat menghasilkan riset bernilai adalah ekonomi kreatif," tutur Suyatno.
Dia juga menekankan pentingnya hasil riset Indonesia mudah diakses. Nantinya, mau tidak mau dunia penelitian juga harus memakai e-journal. Kalau memakai kertas, maka hasil riset kita hanya akan disimpan di lemari buku.
"Oleh karena itu, akan dibangun dengan sistem e-journal, akan sangat mudah. Kalau riset bagus, akan dikutip orang, maka ada pengakuan atas riset di Indonesia," tuturnya.